Pada akhir Perang Dunia II tepatnya tanggal 6
dan 9 Agustus 1945, dunia terutama Jepang dikejutkan dengan
dijatuhkannya bom atom (nuklir) diatas kota Hiroshima dan Nagasaki,
Jepang. Kedua bom hasil rancangan para ilmuwan Amerika Serikat
tersebut telah menimbulkan korban jiwa hampir 200.000 ribu orang dan
membawa dampak kerusakan yang parah bagi pemerintah Jepang. Namun bagi
Amerika Serikat dan pasukan sekutu lainnya, bom nuklir tersebut
dianggap telah merubah sejarah dunia dan mampu menghentikan Perang
Dunia II yang telah berlangsung hampir 3,5 tahun dengan ditandai
menyerahnya tentara Jepang tanpa syarat kepada tentara sekutu. Bagi
Paul Warfield Tibbets, seorang pilot pesawat Enola Gay yang membawa
bom nuklir untuk dijatuhkan ke kota Hiroshima, bahwa apa yang telah
dilakukannya adalah penting untuk mengurangi lebih banyak pertumpahan
darah. Dengan menjatuhkan bom atom, Tibbets percaya ia telah
menghentikan perang secepat mungkin (Majalah Angkasa, Agustus 2005:
34). Pengeboman nuklir di kota Hiroshima dan Nagasaki meskipun dapat
menghentikan Perang Dunia ke II, justru menimbulkan konflik baru yang
mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Keberhasilan
teknologi nuklir dalam pembuatan persenjataan yang bersifat perusak
massal (mass destructive) memicu ketegangan yang
lebih besar dengan lahirnya era perang dingin yang ditandai dengan
perlombaan persenjataan nuklir antara negara-negara blok barat
(Amerika Serikat) dengan negara-negara blok timur (Uni Sovyet). Perang
dingin juga mendorong negara penghasil nuklir seperti Amerika Serikat
dan Uni Sovyet memasok bahan-bahan maupun senjata nuklir dan membantu
pembangunan instalasi nuklir kepada negara-negara ketiga. Pemasokan
bahan-bahan nuklir dari negara-negara nuklir tersebut yang menyebabkan
semakin meluas dan meningkatnya negara-negara yang mengembangkan
teknologi nuklir. Namun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi-lah
yang sebenarnya mendorong negara-negara untuk memiliki dan membangun
instalasi-instalasi nuklir untuk meningkatkan prestise di mata dunia.
Nuklir dalam perkembangannya tidak hanya digunakan untuk kepentingan
militer saja, seperti pembuatan senjata nuklir, namun nuklir juga
dapat digunakan untuk kepentingan sipil seperti pembangkit tenaga
listrik tenaga nuklir (PLTN), dan juga penelitian-penelitian tentang
nuklir. Peranan nuklir memang memiliki pengaruh yang kuat terhadap
hubungan internasional negara-negara di dunia. Bahaya nuklir sangat
disadari oleh setiap negara yang dapat membawa negara-negara tersebut
selaku subyek hukum internasional menyelesaikan benturan
kepentingan-kepentingan mereka dalam bidang nuklir melalui upaya
perundingan, diplomasi maupun propaganda. Kekhawatiran negara-negara
tentang penggunaan nuklir untuk pengembangan dan penggunaan senjata
nuklir mendorong lahirnya traktat-traktat internasional dalam bidang
persenjataan nuklir. Salah satu traktat internasional dalam bidang
persenjataan nuklir adalah Treaty on the Non Proliferation of Nuclear Weapon
(NPT) yang ditandatangani tanggal 1 Juli 1968 dan mulai berlaku
tanggal 5 Maret 1970. Satu hal yang menonjol dalam perjanjian ini
bahwa negara non nuklir dilarang untuk membuat atau memiliki senjata
nuklir, sedangkan bagi negara nuklir tidak ada larangan untuk
mengembangkan, membuat, atau bahkan menggunakan senjata nuklirnya
(Dahlan Nasution, 1989: 143). Perjanjian NPT ini mensyaratkan Safeguard System atau sistem pengawasan Badan Tenaga Atom Internasional/ International Atomic Enegy Agency
(IAEA) terhadap semua peralatan, bahan-bahan dan instalasi nuklir.
Negara-negara peserta NPT memiliki kewajiban untuk memberi akses bagi
IAEA terhadap setiap program nuklir yang akan maupun tengah dijalankan
sehingga diharapkan laporan IAEA tersebut dapat meyakinkan negara lain
bahwa program nuklir negara peserta NPT hanya ditujukan untuk
kepentingan damai, yakni untuk pembangkit energi listrik, bukan untuk
pembuatan senjata nuklir. Dengan ditegakkannya Traktat Non Proliferasi
1968, proliferasi senjata nuklir menjadi isu yang terus menjadi bahan
perdebatan internasional hingga hari ini. Salah satu isu proliferasi
senjata nuklir tersebut adalah program nuklir Iran yang kini berkembang
menjadi suatu kasus yang sedang di tangani oleh Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Kasus nuklir Iran muncul menjadi
perdebatan masyarakat internasional dimulai dengan adanya tuduhan
Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa bahwa program nuklir yang
sedang dikembangkan oleh Iran termasuk dibangunnya sejumlah reaktor
nuklir di sejumlah kota di negara pimpinan Mahmoud Ahmaddinejad
tersebut. Inspeksi IAEA terhadap sejumlah fasilitas nuklir Iran telah
dilakukan dan dilaporkan kepada DK PBB oleh ketua IAEA, Mohamed
Elbaradei. Disisi lain, pemerintah Iran bersikeras membantah bahwa
program nuklir yang tengah dikembangkan pemerintah Iran bukan untuk
kepentingan militer dan pembuatan senjata melainkan untuk kepentingan
sipil dan damai, sesuai dengan ketentuan NPT. Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional yang salah satu
tujuannya untuk mempertahankan perdamaian dan kemananan internasional
sesuai dengan Pasal 1 Piagam PBB 1945, melalui organ Dewan
Keamanan-nya sedang berupaya untuk menyelesaikan kasus nuklir Iran
tersebut. Dalam menyikapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut, ada
ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi oleh DK PBB agar permasalahan
tidak berkembang menjadi suatu konflik yang semakin menegang dan
meluas. Salah satu ketentuan yang harus dipatuhi oleh DK PBB adalah
ketentuan yang tercantum dalam Piagam PBB 1945, yang merupakan salah
satu instrumen hukum internasional yang penting dan menjadi dasar
berdirinya PBB. Permasalahan lain yang muncul adalah DK PBB menyikapi
kasus nuklir Iran tersebut di tengah perdebatan mengenai eksistensi
PBB itu sendiri, yang merupakan akumulasi dari sikap skeptis
masyarakat internasional terhadap PBB mengenai ketidakberhasilan
setiap kasus-kasus internasional yang ditangani oleh PBB. Tuntutan
adanya reformasi PBB terutama mengenai jumlah anggota tetap DK PBB
terus digalakkan oleh masyarakat internasional. Selama ini, PBB
dianggap gagal dalam menjaga perdamaian dunia akibat sikap dari
masing-masing anggota DK PBB untuk menyelesaikan permasalahan yang
menyangkut keamanan intenasional. Sikap skeptis juga salah satunya
ditunjukkan oleh pemerintah Iran. Pada kasus nuklir Iran, pemerintah
Teheran menegaskan siap melakukan konfrontasi jika DK PBB melakukan
intervensi dalam masalah program nuklir Iran. Hamid Reza Asefi, juru
bicara Iran mengatakan segala tindakan yang dilakukan DK PBB akan
membawa dampak negatif dalam kerja sama Iran dengan Badan Pengawas
nuklir PBB, IAEA (Solopos, 8 Mei 2006). Sikap skeptis pemerintah Iran
tersebut didukung oleh seluruh rakyat Iran. Pembelaan Iran terhadap
program nuklirnya juga didukung oleh sejumlah negara lain terutama
negara-negara Islam dan negara-negara yang selama ini memiliki
hubungan kurang baik dengan Amerika Serikat .